Peneliti Utama Save the Children Indonesia Temukan Perkawinan Anak di NTB Masih Tinggi, Ini Faktanya

“Pemaksaan perkawinan anak adalah salah satu bentuk kekerasan dan pelanggaran hak anak. Kasus perkawinan anak di Provinsi NTB ibarat ‘gunung es’ dimana data yang nampak di permukaan didasarkan pada permohonan dispensasi kawin, sedangkan data nikah siri dan perkawinan di bawah tangan tidak ditemukan,” tegas Dian Aryani, Peneliti Utama Save the Children Indonesia.
Dian juga menjabarkan perkawinan anak sangat berdampak negatif bagi tumbuh kembang anak seperti Pendidikan, kesehatan, ekonomi yang tentunya akan berujung pada munculnya kemiskinan baru atau kemiskinan struktural. Tak hanya itu, kasus kekerasan dalam rumah tangga juga marak terjadi pada pasangan muda atau pasangan yang menikah diusia anak, dan tak sedikit dampak terburuk dalam berbagai kasus adalah meninggal dunia.
Data Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Nusa Tenggara Barat juga mencatat bahwa angka putus sekolah murid SMA/SMK per November 2021 telah mencapai 2.313 orang. Penyebab utama adalah perkawinan anak dan bekerja membantu ekonomi keluarga.
Temuan kunci Studi Kualitatif Save the Children Indonesia juga menjabarkan secara detail terkait norma sosial yang diskrimatif, adat Merarik Sasak yang Patriarki, praktik pembiaran dari orang dewasa, Interpretasi Keyakinan yang subyektif, kurangnya komunikasi positif antara orang tua dan anak terkait cara bergaul dan berperilaku sampai dengan ketidaksetaraan gender dan ketimpangan dalam gender terutama pada anak perempuan dan perempuan.
Editor : Purnawarman