LOMBOK, iNewsLombok.id – Kejaksaan Tinggi (Kejati) Nusa Tenggara Barat (NTB) menegaskan komitmennya dalam menangani dugaan kasus dana siluman pokok-pokok pikiran (pokir) DPRD NTB tahun anggaran 2025. Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati NTB, Muhammad Zulkifli Said, memastikan bahwa proses hukum berjalan transparan dan sesuai aturan.
“Sampai saat ini, Kejati NTB sudah memanggil dan memeriksa 28 anggota DPRD NTB, termasuk Ketua DPRD, terkait dugaan dana siluman pokir tahun anggaran 2025,” jelas Zulkifli, Selasa (26/8/2025).
Menurut Zulkifli, aspirasi mahasiswa yang meminta penuntasan kasus ini akan ditindaklanjuti. Pihaknya berkomitmen untuk melakukan penyelidikan lebih mendalam, terutama menyangkut transparansi penggunaan anggaran daerah.
Apa Itu Dana Pokir?
Dana Pokok Pikiran (Pokir) DPRD merupakan usulan resmi anggota dewan yang kemudian dituangkan dalam program pembangunan daerah. Mekanisme ini sah secara hukum, namun kerap disorot publik karena rawan diselewengkan apabila pengawasan lemah.
Dugaan adanya “pokir siluman” biasanya berkaitan dengan alokasi dana yang tidak jelas peruntukannya serta tidak transparan dalam dokumen resmi APBD.
Aksi Mahasiswa IMM Tuntut Transparansi
Sehari sebelum pemanggilan anggota DPRD, puluhan mahasiswa dari Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) menggelar unjuk rasa di depan Kantor Kejati NTB, Senin (25/8/2025).
Aksi yang awalnya berjalan damai berubah ricuh setelah massa membakar ban bekas di halaman kantor. Kericuhan semakin memanas karena terjadi saling dorong antara mahasiswa dengan aparat kepolisian serta sejumlah jaksa yang berjaga.
Ketua IMM Kota Mataram, Hamid, menegaskan bahwa aksi tersebut merupakan bentuk keresahan masyarakat terhadap dugaan penyalahgunaan anggaran daerah.
“Kami mendesak Kejati transparan dan tidak tebang pilih dalam menangani kasus pokir siluman ini. Semua pihak yang terlibat harus diperiksa,” tegas Hamid.
IMM menegaskan akan terus mengawal kasus ini hingga tuntas dan berjanji melakukan aksi lanjutan jika Kejati dianggap tidak serius.
Kasus pokir siluman bukan hal baru di Indonesia. Beberapa daerah lain sebelumnya juga pernah terjerat kasus serupa yang berujung pada penetapan tersangka dari unsur legislatif.
Praktik penyalahgunaan dana pokir biasanya berkaitan dengan proyek fiktif, mark-up anggaran, hingga pengalihan dana tanpa dasar hukum jelas.
Pakar hukum tata negara menilai, kasus semacam ini dapat melemahkan kepercayaan publik terhadap lembaga legislatif jika tidak ditangani serius.
Transparansi digital melalui Sistem Informasi Pemerintahan Daerah (SIPD) seharusnya menjadi instrumen utama mencegah adanya “pokir siluman”.
Editor : Purnawarman
Artikel Terkait