“Polisi mungkin bertindak melebihi kewenangan atau kurang pengetahuan. Kasus kecil seperti ini seharusnya diselesaikan secara kekeluargaan, bukan diproses hukum yang justru memperparah beban korban,” ujarnya.
Kontekstualisasi Sejarah: Warisan Hukum Adat masa Kolonial
Konflik ini mengingatkan pada kajian antropolog Belanda J. Van Baal dan C. Van Vollenhoven tentang hukum adat Lombok Utara. Dalam buku Bayan: Masyarakat Adat Sasak, Van Baal mencatat bahwa masyarakat Bayan-Kayangan mempraktikkan sistem hukum berbasis restorative justice sejak 1940-an. Sementara Van Vollenhoven, “Bapak Hukum Adat Indonesia”, menyebut hukum adat Sasak sebagai perpaduan unik antara nilai Islam dan tradisi lokal.
“Kearifan lokal ini dulu diakui bahkan oleh pemerintah kolonial. Sayangnya, kini sering diabaikan,” kata Daclan.
Dampak Sosial: Dari Tradisi ke Modernitas
Insiden di Kayangan mencerminkan kegagalan integrasi antara hukum modern dan adat. Masyarakat adat Lombok Utara, yang masih memegang teguh prinsip Watu Telu (keseimbangan alam-spiritual), kerap terjepit oleh birokrasi formal. Pembakaran Polsek Kayangan adalah bentuk protes terhadap ketidakadilan yang dirasakan.
Ajakan Solusi: Kolaborasi Adat & Aparat
Ali BD mendesak polisi dan pemda Lombok Utara melibatkan pemangku adat dalam menyelesaikan sengketa kecil.
“Penegak hukum harus paham bahwa malu bisa lebih menghancurkan daripada hukuman penjara. Mari hormati mekanisme adat untuk mencegah eskalasi konflik,” tegasnya.
Editor : Purnawarman
Artikel Terkait