Namun, sepertinya ada pihak yang terus berupaya menarik-narik beliau dalam pusaran politik, untuk kepentingan sendiri. Kita sudah mafhum, siapa pihak tersebut. Mungkin pihak tersebut sedang panik secara elektoral. Kita mafhum sajalah.
Soal penegasan TGB mengenai sikap NWDI secara organisasi tidak mendukung Rohmi-Firin. Hal ini juga bukan hal baru, sebab sudah disampaikan TGB, jauh hari sebelumnya di media massa. Hal ini juga sama. Bahwa H Musyafirin selaku ketua PC Nahdlatul Ulama Sumbawa Barat, tidak mendapat dukungan secara organisasi dari NU.
Namun, dalam kasus ini, tokoh dan anggota ormas masing-masing, secara personal memberikan dukungannya, bukan secara kelembagaan. Alasan mendukung karena sesama NWDI atau NU juga adalah hal wajar.
Bagi pasangan Rohmi-Firin dan seluruh pejuang yang ada di dalamnya. Garis tersebut ditunaikan optimal. Meskipun, Ummi Rohmi sebagai Cagub adalah Ketua Muslimat NWDI.
Namun, tetap ikut garis, tidak menggunakan bendera atau struktur organisasi ketika melakukan kampanye. Sebab. Bagi Ummi Rohmi, perjuangan pokoknya adalah meneruskan perjuangan Almagfurullah Maualanayeikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid. "Perjuangan Agama dan Kebangsaan dalam satu tarikan nafas".
Soal pilihan politik TGB, ketika menjawab pertanyaan wartawan dalam podcast tersebut, TGB hanya memberikan pandangan soal adanya urgensi kepemimpinan dua periode. TGB bicara substansi keberlanjutan.
Substansi keberlanjutan adalah kemajuan daerah. TGB tidak bicara aktor yg melanjutkan. Ini wajar saja, berdasar refleksi TGB sendiri, dua periode menjadi Gubernur, sehingga bisa menuntaskan sejumlah agenda dan dalam rangka kesinambungan pembangunan.
Hal tersebut, tentu tidak serta merta bisa diartikan langsung sebagai bentuk dukungan. Apalagi langsung menjadi judul penulisan media massa.
Dan soal dua periode kepemimpinan yang disampaikan TGB tentu saja debatable. Dalam konteks TGB sendiri juga demikian, relevan jika melihat sukses TGB memimpin NTB dua periode. Namun, tentu paradoks ketika dalam hal, TGB menghentikan langkah petahana H. Lalu Serinata yang baru satu periode memimpin.
Catatan atas paradoks tersebut adalah, TGB bijak dalam hal pentingnya keberlanjutan pembangunan, sejumlah agenda besar masa HL. Serinata dituntaskan, bahkan menjadi salah satu prioritas, misalnya pemindahan bandara dan RSU Provinsi NTB. Bahkan, dalam kasus RSUP, seluruh Master Plan hingga DED (detail engineering design) yang dibuat Gubernur HL Serinata.
Namun, seperti paparan TGB dalam podcast tersebut, justru Gubernur pasca TGB. Sejumlah program pokok TGB ditelantarkan begitu saja, seperti, moslem friendly tourism yang sudah mendapat pengakuan dunia dan Islamic Center yang sudah menjadi ikon dan pusat kegiatan membangun peradaban masyarakat.
Apakah tidak ada keberlanjutan di Rohmi-Firin?
Mungkin terlalu klise dan mengada-ada untuk dijawab.
Editor : Purnawarman
Artikel Terkait