Jika pada sebahagian penggalan sejarah masa lalu perempuan dimarginalkan maka hal itu bisa jadi disebabkan oleh bayang-bayang feodalisme. Ingat bagaimana penjajah memperlakukan masyarkat dengan diskriminatif. Tidak semua masyarkat diperlakukan setara oleh penjajah. Taktik demikian jelas untuk supaya penjajah terus dapat menguasai karena masyarakat yang tidak setara akan mengalami ketidakstabilan pula.
Pada kerangka demikianlah perempuan sebagai mahluk dengan perangai lemah -lembut lalu didesain sebagai mahluk yang berada di posisi rendah. Posisi yang hanya pantas berada di belakang laki-laki. Posisi yang hanya boleh berada di wilayah domestik seperti di dalam rumah berputar di kasur, sumur dan dapur.
Jadi jikalau sampai hari ini masyarakat menganggap perempuan sebagai mahluk lemah tidak berdaya berarti itu adalah paradigma lama. Paradigma yang disetting oleh kondisi sosial masyarkat terjajah. Lalu sampai kapan masyarkat hendak mengawetkan setting seperti itu? Lewat narasi ini penulis mengajak masyarkat untuk move on. Melangkah maju dan jangan mau ikut latah oleh irama gendang sisa-sisa feodalisme dan kolonialisme masa lalu. Agar supaya sesegera mungkin masyarakat menggapai dunia baru yang lebih maju.
Kekuatan Perempuan
Perempuan dikatakan sebagai mahluk yang mendahulukan perasaan. Dengan adanya sifat itu, perempuan mudah membangun solidaritas sosial. Tidak mengherankan kemudian seorang perempuan mempunyai kecenderungan untuk lebih banyak berbicara. Pada saat yang sama ruang-ruang pembicaraanya bisa dari tema domestik keseharian seperti masalah rumah tangga, keluarga, harga kebutuhan pokok sehari-hari sampai pada masalah-masalah yang lebih luas juga tidak luput dari pembicaraanya.
Dengan sifat -sifat nya yang mendahulukan perasaan itu kemudian perempuan mempunyai potensi mudah mencurahkan hatinya dan selanjutnya pembicaraannya pun bisa sangat panjang. Dengan kondisi demikian kekuatan perempuan bisa membangun kebersamaan. Menciptakan situasi yang guyub antar sesama kaum mereka.
Kondisi-kondisi di atas merupakan berdampak pada mudahnya kaum perempuan menggalang kekuatan massa. Bagaimana pun pelibatan perasaan menjadi kohesifitas sosial di antara mereka sehingga kekuatan kebersamaanya tidak bisa dianggap remeh.
Adanya karakter-karakter khusus kaum perempuan itu harus bisa dikenali dan dijadikan senjata oleh kekuatan yang hendak menjadikan perempuan sebagai pemimpin. Dalam hal ini Ummi Rohmi sebagai figur kaum hawa tidak bisa dianggap enteng. Pelibatan semua sifat dan karakter khas sosial kaum perempuan bisa menggumpal yang akan terus membesar menciptakan arus besarnya. Potensi ini kemudian dapat menjadikan gerakan yang dinisiasi kaum perempuan bisa jadi modal untuk memenangkan Ummi Rohmi di gelaran pilkada Nopember 2024 mendatang.
Editor : Purnawarman
Artikel Terkait