HMI Pertanyakan Dasar Hukum Penetapan Tersangka Anggota DPRD NTB Efan Limantika oleh Polda
LOMBOK, iNewsLombok.id - Ketua HMI Badan Koordinasi (Badko) Bali–Nusra, Abdul Halik, melontarkan kritik tajam terhadap pernyataan Direktur Kriminal Umum (Dirkrimum) Polda NTB, Kombes Pol Syarif Hidayat, terkait pengumuman penetapan tersangka anggota DPRD NTB, Efan Limantika.
Kasus yang menyeret politisi Partai Golkar itu berkaitan dengan dugaan pemalsuan dokumen lahan di Kecamatan Hu’u, Kabupaten Dompu.
Menurut Abdul Halik, pernyataan yang disampaikan Syarif Hidayat tidak memiliki dasar hukum yang kuat serta dianggap telah melampaui kewenangan Polda NTB. Ia menegaskan bahwa laporan awal kasus tersebut dibuat oleh Adnan dan ditangani langsung oleh Satreskrim Polres Dompu, bukan oleh penyidik di tingkat Polda.
“Pernyataan Dirkrimum Polda NTB sangat keliru. Polda bukan pihak yang menangani kasus ini. Pengumuman status tersangka seharusnya disampaikan oleh Polres Dompu sebagai penyidik,” tegas Abdul Halik pada Rabu, 10 Desember 2025 di Mataram.
Ia juga menyoroti pentingnya transparansi dan akurasi informasi hukum agar publik tidak dirugikan oleh informasi yang berpotensi membingungkan. Halik mempertanyakan dasar hukum Dirkrimum mengumumkan status tersangka tanpa melakukan koordinasi dengan penyidik Polres Dompu.
Selain itu, Halik menegaskan bahwa kasus lahan yang melibatkan Efan Limantika lebih tepat dikualifikasikan sebagai sengketa perdata terkait kepemilikan tanah, bukan perkara pidana.
“Ini sengketa tanah yang seharusnya diselesaikan melalui jalur perdata. Memaksakan delik pidana dalam kasus kepemilikan seperti ini justru menunjukkan ketidakpahaman terhadap prosedur hukum,” ujarnya.
Keanehan lain yang disorot HMI adalah pernyataan Kasi Humas Polres Dompu yang mengaku tidak mengetahui adanya penetapan tersangka terhadap Efan Limantika. Hal ini dinilai sebagai indikasi ketidakselarasan komunikasi antara Polda NTB dan Polres Dompu.
“Bagaimana mungkin Polda mengumumkan tersangka, sementara Polres yang menyidik tidak mengetahui? Ini janggal dan mencederai profesionalisme penegakan hukum,” tambah Halik.
Dengan berbagai kejanggalan tersebut, Abdul Halik mendesak Kapolda NTB, Irjen Pol Hadi Gunawan, agar mengambil tindakan tegas terhadap Kombes Pol Syarif Hidayat. Ia menilai pernyataan Dirkrimum bukan hanya melampaui kewenangan, tetapi juga berpotensi merusak citra kepolisian di mata publik.
“Kami mendesak Kapolda memecat Syarif Hidayat dari jabatannya. Pernyataan seperti itu tidak hanya merusak asas penegakan hukum, tetapi juga mencoreng nama institusi kepolisian di mata publik,” ujarnya.
HMI Badko Bali–Nusra memastikan akan terus mengawal perkembangan hukum kasus tersebut agar tidak menjadi alat kriminalisasi terhadap wakil rakyat dan tetap sesuai dengan ketentuan undang-undang.
Di akhir keterangannya, Abdul Halik menegaskan bahwa langkah Dirkrimum Polda NTB justru memperlihatkan urgensi reformasi internal Polri, khususnya di wilayah NTB.
“Tindakan Dirkrimum Polda NTB menambah keyakinan kami bahwa reformasi Polri harus dimulai dari NTB. Ini melawan perintah Presiden dan mengangkangi komitmen Presiden untuk menghadirkan kepolisian yang profesional,” katanya.
HMI Badko Bali–Nusra juga meminta Presiden Prabowo Subianto turun tangan dan memerintahkan evaluasi menyeluruh terhadap pimpinan Polda NTB guna memastikan proses hukum berjalan secara profesional dan tidak dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu.
“Kami mendesak Presiden Prabowo untuk memerintahkan Kapolri mengevaluasi Dirkrimum Polda NTB,” tegasnya.
Sebelumnya, Dirkrimum Polda NTB, Kombes Pol Syarif Hidayat, telah mengumumkan bahwa Efan Limantika telah ditetapkan sebagai tersangka pada Rabu, 10 Desember 2025.
“Iya, (benar) tersangka,” ujarnya saat dikonfirmasi.
Berdasarkan catatan hukum di NTB dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah sengketa lahan memang kerap menimbulkan tarik-menarik antara jalur perdata dan pidana. Hal ini sering memicu perdebatan mengenai ranah kewenangan antara kepolisian dan lembaga peradilan.
Pengamat hukum menyebutkan bahwa koordinasi antara Polda dan Polres penting untuk menjaga konsistensi penegakan hukum, terutama dalam kasus yang sensitif secara politik maupun sosial.
Kasus ini juga menjadi sorotan karena melibatkan anggota legislatif aktif, sehingga publik menuntut keterbukaan dan prosedur yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Editor : Purnawarman