Antropologi Birokrasi Menyelami Tubuh Kekuasaan yang Tak Terlihat
Antropologi birokrasi mungkin terdengar asing dan tidak familiar di telinga publik Indonesia padahal setiap hari, setiap minggu, bulan dan tahun, ada saja yang mengharuskan kita berurusan dengan birokrasi negara.
Bahkan sekedar bayar tagihan listrik, pulsa, angsuran mobil, motor bahkan pinjman di bank harus dihadapkan dengan peliknya birokrasi, sehingga mau tidak mau dan suka tidak suka semua perkara hidup bernegara diatur ketat oleh sistem regulasi yang bernama birokrasi negara.
Namun, ketika berbicara tentang birokrasi dan polemiknya di Indonesia rasanya nano-nano. Banyak orang yang salah tafsir dan salah memahami birokrasi baik definisi, fungsi dan maknanya dalam kehidupan bernegara.
Antropologi birokrasi dapat menjadi suatu pendekatan akademis yang kaya dengan unsur budaya, filosofi dan cara pandang unik tentang bagaiamana memahami birokrasi dan bagaimana cara bekerja birokrasi dalam melayanai kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan budaya.
Antropologi birokrasi tidak hanya melihat birokrasi sekedar sebagai institusi, sistem administrasi dan Kumpulan pranata aturan melainkan sebagai fenomena budaya yang membentuk dan dibentuk oleh manusia.
Dalam The Utopia of Rules David Graeber (2015), birokrasi diterjemahkan sebagai bentuk dominasi modern yang membungkus kekuasaan dalam aturan dan dokumen.
Wajar, kemudian jika imajinasi publik tentang tentang birokrasi langsung tertuju pada gedung kantor pemerintahan, meja berlapis berkas, pegawai berseragam, dan sistem administrasi yang lamban.
Sebaliknya, dalam lensa antropologi, birokrasi bukan hanya soal struktur administratif tetapi tentang budaya hidup, kebiasaan, sistem makna, dan jejaring kekuasaan yang membentuk cara manusia berhubungan dengan negara.
Birokrasi memuat nilai, simbol, dan cara yang membentuk, mengatur dan membatasi perilaku orang-orang di dalam sistem seperti keharusan loyal pada atasan, disiplin kerja, wajib seragam, dan upacara.
Bagi saya setiap orang memiliki tafsir, cara pandang, definisi dan pengalaman unik sendiri yang berbeda-beda tentang birokrasi. Jika akses birokrasi fleksibel dan mudah pemerintah seringkali dipuja puji.
Di Era birokrasi modern efisiensi birokrasi diukur dari kepraktisan layanan, kecangihan teknologi yang digunakan dan transparansi pelayanan. Namun, prakteknya birokrasi kini, tidak sedikit yang tergelitik menggugat dan protes mencemooh karena aksesnya yang timpang dan buruk.
Birokrasi masih dihadapkan oleh kendala klasik seperti administrasi yang panjang dan berbelit, struktur organisasi gemuk tidak efisien, budaya pungli, koneksi orang dalam, nepotisme layanan dan kental praktek korupsi.
Sehingga corak birokrasi cenderung berjalan feodal dan tidak transparan. Situasi ini tidak heran memicu reaksi tidak puas publik dan banyak yang kecewa enggan punya urusan dengan birokrasi lagi.
Pada konteks inilah, antropologi birokrasi memainkan peran kunci dengan mempelajari praktik, simbol, nilai, dan relasi kekuasaan yang hidup di dalam Lembaga birokrasi.
Fokusnya bukan pada struktur meminjam istilah Levistraus (1908) tetapi pada cara manusia berinteraksi, menafsirkan aturan, dan menjalankan kekuasaan dalam ruang birokratik.
Dengan kata lain, birokrasi dalam pandangan antropologi dilihat sebagai budaya kerja dan rangkaian sistem makna rumit yang terjalin bukan sekadar mesin organisasi.
Dalam lensa antropologi, birokrasi dilihat sebagai sebuah struktur dan kebudayaan yakni pola hubungan yang tetap antara unsur-unsur dalam sistem.
Untuk menjaga-fungsi dari elemen birokrasi diciptakan semacam ritual dan simbol meminjam istilah Emile Durkheim (1858) seperti upacara pelantikan, pakaian dinas, dan bahasa formal birokrasi.
Ada pula relasi-relasi sosial informal yang tercipta alami dalam bentuk praktik jaringan orang dalam, orang dekat dan orang titipan. Hubungan ini bersifat menguntungkan timbal balik atau resiprokal meminjam istilah Malinowsky, (1926) dalam Crime and Custom in Savage Society.
Untuk menjaga ke-ajekan dan sakralitas antara atasan dan bawahan dalam birokrasi sengaja dibuatkan mitos dan narasi kepercayaan tentang aturan suci birokrasi, struktur yang hierarkis dan konsekuensi jika ada pranata aturan yang dilanggar.
Dalam pandangan antropologi birokrasi, negara tidak hadir sebagai entitas abstrak, tetapi sebagai pengalaman sehari-hari yang dijalani warga. ketika mereka misalnya mengurus KTP, mengajukan izin usaha, atau sekadar menunggu tanda tangan pejabat.
Dalam konteks ini, birokrasi tidak hanya bicara tentang keteraturan, efisiensi dan struktur birokrasi melainkan tentang ritual simbolik kekuasaan.
Di sinilah filosofi negara mengalami proses yang saya disebut dengan embaded atau menubuh dalam rutinitas warga, dalam aturan yang kaku, dan dalam bahasa-bahasa formal kekuasaan yang sering kali sulit dimengerti kaum awam.
Uniknya antropologi memiliki semacam insight khas tentang birokrasi dengan mendefiniskan sebagai cara hidup dan cara berpikir. Artinya, orang yang bekerja di birokrasi tidak hanya menjalankan tugas formal tetapi juga mengikuti pola yang berlaku dalam budaya seperti memberi akses kemudahan lebih dahulu dan mudah bagi urusan keluarga, kerabat dan relasi yang memerlukan pelayanan birokrasi.
Meskipun, Weber (1922)memuji birokrasi sebagai bentuk organisasi yang paling efisien, ia juga sekaligus memberi peringatan keras, birokrasi bisa menjadi kandang besi atau iron cage bagi manusia modern. Ketika aturan dan prosedur menjadi terlalu dominan, birokrasi justru mengekang kebebasan dan kreativitas individu.
Manusia kehilangan dimensi kemanusiaannya karena terjebak dalam logika administrasi yang kaku dan tak bernurani. Weber khawatir bahwa dalam masyarakat modern, rasionalitas instrumental (rasionalitas yang mengejar efisiensi) akan menggantikan rasionalitas nilai (rasionalitas yang mengejar makna dan etika).
Akibatnya, birokrasi yang awalnya dibuat untuk melayani manusia justru dapat menguasai manusia. Bagi saya pemikiran Weber tetap sangat relevan untuk membaca birokrasi di Indonesia.
Idealnya, birokrasi kita harus bekerja berdasarkan prinsip rasional-legal, profesional, objektif, dan bebas dari pengaruh pribadi. Namun dalam praktiknya, birokrasi Indonesia masih sering terjebak dalam budaya patrimonial, di mana keputusan dipengaruhi oleh kedekatan, titipan dan loyalitas personal.
Birokrasi dan Ritual Kekuasaan
Georges Balandier, antropolog Prancis dalam antropologi kekuasaan, melihat bahwa setiap sistem kekuasaan memiliki bentuk ritual untuk mempertahankan legitimasinya.
Dalam konteks birokrasi Indonesia, ritual itu tampak dalam upacara bendera setiap Senin, dalam sambutan pejabat yang penuh basa-basi, dalam arsip dan stempel yang seolah menjadi tanda sakral keabsahan dokumen.
Ritual birokrasi berfungsi ganda meneguhkan hierarki dan menciptakan jarak antara penguasa dan rakyat. Ketika seorang warga harus melewati berbagai meja hanya untuk mendapatkan selembar surat, itu bukan semata soal prosedur, tapi tentang pengalaman kekuasaan.
Proses itu mengingatkan bahwa negara punya kendali atas waktu, ruang, dan legitimasi hidup seseorang. Dalam perspektif ini, birokrasi bekerja seperti agama kecil, punya kitab (peraturan), imam (pejabat), dan ritus (prosedur.
Para pegawai bukan hanya pelaksana administrasi, tetapi penjaga “kesucian” sistem yang dianggap tak bisa diganggu gugat.
Antropologi juga menunjukkan bahwa birokrasi tidak pernah steril dari nilai-nilai sosial.
Ia diselimuti oleh logika budaya yang hidup di masyarakat. Di Indonesia, birokrasi tumbuh di dalam kultur patrimonial dan relasi kekuasaan yang lebih menekankan kedekatan personal dan loyalitas ketimbang aturan formal.
Maka, di balik slogan reformasi birokrasi kita masih sering menemukan praktik balas jasa, titip jabatan, dan negosiasi informal.
Fenomena ini bukan sekadar pelanggaran etika, tetapi cerminan dari cara masyarakat memaknai hubungan sosial bahwa kekuasaan harus berbagi, dan keakraban lebih bermakna daripada sistem anonim.
Antropolog seperti Akhil Gupta dalam Red Tape Bureaucracy, Structural Violence, and Poverty in India menegaskan bahwa birokrasi di negara-negara pasca kolonial sering beroperasi dalam ambiguitas, di satu sisi menjanjikan keadilan administratif, di sisi lain menciptakan kekerasan struktural terhadap rakyat kecil.
Di Indonesia, hal ini terasa nyata dalam tumpukan syarat, meja, dan waktu yang dipermainkan. Siapa dekat dan titip amplop dapat prioritas, pola ini menciptakan birokrasi yang diskriminatif dan eksklusif bukan egaliter.
Tubuh Birokrasi dan Simbolisme Kekuasaan
Birokrasi juga memiliki tubuh simbolik seragam, lencana, ruangan berpendingin, bahkan cara berbicara yang khas. Semua itu membentuk habitus kekuasaan sebagaimana dijelaskan Pierre Bourdieu (1972) yang membuat pejabat merasa berbeda dari rakyat biasa.
Birokrasi menciptakan jarak sosial yang diperkuat oleh simbol. Sapaan pak, bu dan yang terhormat menegaskan struktur hierarki, sementara meja besar dan tanda tangan menandai batas antara yang berwenang dan yang memohon.
Dalam ruang ini, kekuasaan tidak sekadar dijalankan, tetapi dipertunjukkan. Antropologi sebagai Cermin Kritik Antropologi birokrasi tidak datang untuk menertawakan pegawai negeri atau meromantisasi rakyat kecil.
Ia datang untuk memahami dan mengkritik bagaimana kekuasaan bekerja melalui simbol, bahasa, dan praktik sehari-hari. Jika birokrasi ingin berubah, maka perubahan itu tidak cukup dilakukan lewat peraturan baru atau sistem digital.
Kita harus mengganti budaya makna yang melingkupinya: dari budaya kuasa menjadi budaya pelayanan, dari loyalitas personal menuju tanggung jawab profesional; dari logika jarak menuju logika empati.
Reformasi birokrasi sejati adalah reformasi budaya. Ia menuntut pemahaman antropologis bahwa di balik setiap formulir dan meja kantor, ada manusia dengan logika sosial, harapan, dan rasa hormat yang khas. Birokrasi tidak akan pernah benar-benar netral, tapi ia bisa menjadi lebih manusiawi jika kita mau memahami tubuh dan jiwa sosialnya.
Dan di sinilah antropologi memainkan peran penting membongkar yang kasat mata untuk menyingkap makna yang tersembunyi di balik kekuasaan yang tampak begitu biasa. Potret Birokrasi di Indonesia saya kira belum mencerminkan rasa keadilan dan kemanusiaan publik dalam memperoleh pelayanan birokrasi yang prima.
Birokrasi negara masih identik dengan sejumlah prosedurnya yang berbelit-belit, formalistik, dan adminsitrasi panjang. Akses kemudahan menikmati birokrasi pun yang kompleks ini hanya bisa dipangkas jika ada orang dalam sistem.
Kasih amplop segala perkara dan urusan langsung lancar dan selesai secepat kilat. Punya orang dalam memang Ajaib dan sakti apalagi kalau ada kata blece pejabat, seketika kendala birokrasi pun mulus teratasi.
Berkah kemudahan akses birokrasi belum dirasakan adil oleh publik karena masih adanya budaya feodalisme dan diskriminasi pelayanan. Telah menjadi rahasia umum jika birokrasi di negara kita, masih sering memerankan aksi feodalistik melihat status sosial dan jabatan sebagai ukuran memberi layanan prioritas.
Mereka yang memiliki priviledge kekuasaan memperoleh surplus dan kendali penuh terhadap pelayanan birokrasi publik. Sementara jika orang kecil seringkali tersingkir dari akses pelayan prima birokrasi.
Jadi ada semacam jaringan tersembunyi atau invisible conection yang berada di balik meja. Orang-orang dalam yang bekerja untuk orang-orang tertentu ini banyak tersebar di instansi birokrasi dari kantor presiden hingga kantor lurah dan RT.
Tidak heran buruknya antropologi pelayanan publik di Indonesia memunculkan ungkapan pameo yang menggelitik sebagai sarkasme. Jika bisa dipersulit buat apa dipermudah, jika ada yang bisa dipermudah buat apa dipersulit.
Sebuah kritik kultural dan antropologis yang menggambarkan perilaku birokrasi yang masih di hadapkan vis a vis dengan budaya tribalisme yang kuno. Saya menggarisbawahi bahwa birokrasi d Indonesia masih identik dan dihadapkan dengan praktek kleptokrasi (pejabat suka ambil untung dan memperkaya diri) dan patrimonialistik yakni pengaturan birokrasi yang dijalankan secara pribadi.
Dicirikan dengan budaya atasan dan bawahan yang paternalistik, keluarga, kerabat dan kroni memiliki akses khusus pada sumber daya birokrasi. ini pola dan corak model birokrasi tradisional di era kerajaan nusantara dulu namun, anehnya masih awet tetap bercokol bahkan dalam praktik birokrasi modern.
Situasi ini Oleh Max Webber (1864) diingatkan sebagai iron cage (sangkar besi rasionalitas) di mana, manusia terjebak berlebihan pada aturan dan prosedur tanpa jiwa dan perasaan kemanusiaan.
Editor : Purnawarman