Membaca Ulang Ketidakadilan Negara, Menelanjangi Kuasa Budaya dengan Antropologi Kekuasaan
Dr. Alfisahrin, M.Si
Staf pengajar di Universitas Bima Internasional (UNBIM) dan Staf ahli di DPD RI
ANTROPOLOGI Marxisme hadir sebagai kritik pedas terhadap struktur sosial, ekonomi, dan politik yang melahirkan ketidakadilan dengan fokus pada hubungan produksi, kelas sosial, dan ideologi yang menghegemoni meminjam istilah Gramsci (1929) dalam Prison Notebooks. Marxisme adalah sebuah pendekatan penting yang masih banyak orang alergi dan salah paham menolak keberadaannya karena dipandang dapat menciptakan gerakan sosial radikal dan mengubah secara fundamental aneka tatanan status quo yang telah lama dipertahankan oleh elite.
Bagi saya Marxisme tidak hanya ideologi politik tetapi juga alat analisis kritis, pisau bedah tajam, dan perangkat analisis canggih terhadap persoalan sosial, politik, ekonomi dan budaya untuk membentuk masyarakat tanpa kelas. Marxisme dapat membedah struktur kekuasaan, relasi kelas, serta ideologi yang tersembunyi di balik praktik sosial seperti membongkar ketidakadilan.
Terutama yang bersembunyi dibalik kebijakan kekuasaan karena masalah ketidakadilan bukan sekedar masalah moral apalagi individual. Mengutip Jhon Rawls (1971) bentuk ketidakadilan yang paling lazim di Indonesia adalah ketimpangan ekonomi, korupsi dan oligarki politik.
Untuk memahami analisis Marxisme antropologi kita perlu memahami dengan baik ide, gagasan dan konsep dasarnya. Beberapa gagasan pokok Marxisme diantaranya adalah soal ‘basis’ yaitu cara produksi, distribusi dan relasi kerja. Kemudian ada supra suprastruktur yakni bagian halus dari sistem yang beroperasi dalam cara-cara kerja Marxisme yakni ideologi, budaya, hukum, dan politik yang digunakan untuk menancapkan pengaruh dalam sistem sosial.
Marxisme juga mengenalkan ide tentang kelas sosial, dalam konteks ini kelas dibagi dua yakni borjuis yang mendominasi bertindak sebagai pemilik modal dan kelas pekerja atau proletariat yang dikendalikan oleh kaum borjuis. Dalam marxisme dikenal pula hegemoni, yaitu situasi ketidakadilan yang terjadi dan sengaja dipertahankan lewat persetujuan sosial yang diciptakan melalui pendidikan, agama, media dan narasi kebudayaan.
Dalam relasi borjuis dan proletariat, ketidakadilan adalah wajah paling telanjang dari masyarakat Indonesia, dalam Marxisme Antropologi, ketidakadilan lahir dari relasi produksi yakni kelas yang menguasai alat-alat produksi (borjuis) dan kelas yang hanya memiliki tenaga kerja disebut proletariat.
Antropolog Marxisme Eric Wolf (1982), melihat bahwa setiap bentuk kebudayaan, pranata sosial, hingga ideologi merupakan cerminan dari kepentingan kelas dominan. Sehingga, tidak heran jika ide dan jargon pembangunan untuk ‘semua’ atau pertumbuhan ekonomi untuk ‘kesejahteraan’ terus dipelihara melalui ideologi budaya.
Namun, fakta getirnya, konsentrasi kekayaan dan penguasaan terhadap mayoritas sumber daya ekonomi tetap berada dibawah kendali penuh segelintir elite borjuis. Sementara kaum proletar tetap mengalami kondisi marginalisasi (keterpinggiran) karena ketidakadilan yang bersumber dari lahirnya praktik hukum yang tidak adil, proyek pembangunan yang dikuasai oligarki, UU minerba, UU cipta kerja yang hanya pro korporasi tetapi banyak merugikan kaum proletariat.
Konflik agraria yang melibatkan petani dan korporasi milik borjuis adalah bukti nyata dari konflik dan pertikaian karena dominasi borjuis terhadap kaum miskin proletar. mayoritas petani kehilangan tanah akibat ekspansi Perkebunan atau tambang. Akhirnya petani terpaksa tunduk dan tersisih berubah menjadi buruh murah.
Secara budaya keunikan dan ekosotisme tradisi lokal hanya menjadi ornament dan aksesoris yang dijadikan komoditas jualan dalam industri kapitalis pariwisata. Tapi keuntungan besar dikuasai oleh investor borjuis, proletar seperti pedagan kaki lima dan pedagang asongan hanya menjadi objek bukan subyek utama.
Saya lihat dalam politik pun fakta yang terjadi tidak berbeda, negara lebih berpihak pada kepentingan pemodal yang bertindak sebagai borjuis ketimbang proletariat kecil. Dengan modal dan korporasi yang dimiliki borjuis dapat mengatur kekuasaan untuk menciptakan kebijakan publik yang menguntungkan pihaknya tanpa partisipasi masyarakat bawah.
Saya memberikan contoh bagaimana borjuis mengebiri hak-hak proletar dengan menggunakan jual beli pengaruh (trading influence) terhadap kekuasaan. Mereka membajak dan mengatur kekuasaan dengan membuat beberapa undang-undang yang memicu ketidakadilan sistemik dan merugikan proletar.
Misalnya UU KPK (2019) proses pembahasan berlangsung singkat dan tertutup. UU Ibu Kota IKN (2022) prosesnya hanya sekitar 40 hari, Apalagi UU Minerba (2020) dan Omnibuslaw (2020) di tengarai mengendapkan indikasi adanya titipan oligarki dan borjuis.
Hal ini berimplikasi buruk terhadap munculnya ketidakadilan sistemik, di mana buruh-buruh pabrik menghadapi sistem kerja kontrak dan upah murah, petani kehilangan lahan karena proyek infrastruktur dan masyarakat adat mengalami perampasan ruang hidup karena kepentingan tambang korporasi borjuis. Semua ketidakadilan yang terjadi kadang tidak sadari oleh publik karena kecerdikan kelompok borjuis dan korporasi mengemas aneka ketimpangan yang dialami proletar lewat praktek hegemoni budaya.
Media massa digunakan sebagai alat propaganda, permainan retorika dan diksi-diksi populisme seperti keadilan ekonomi, hukum, politik dan sosial.
Padahal, sejatinya keadilan menjadi barang langka di Indonesia di tengah maraknya suap, gratifikasi, korupsi, dan nepotisme.
Pencari keadilan hukum dan ekonomi kerap menemui jalan buntu berurusan dengan penegak hukum karena tidak ada yang gratis tanpa pamrih. Agar urusan perkara dan lancar proletar harus membayar jasa hakim, polisi dan jaksa.
Bahkan urusan KTP, KK dan surat segala tetek bengek administrasi wajib bayar bahkan disertai jalur dan jalan pintas dengan ekstra bayar. Sehingga, bagi saya, omong kosong ada keadilan bagi proletar ketika berurusan dengan negara, borjuis dan korporasi.
Tidak jarang untuk mengelabui realitas ketimpangan pendapatan, jarak miskin dan kaya, pengangguran, inflasi dan upah murah, elite borjuis menyuguhkan indeks keberhasilan pembangunan dan grafik angka-angka statistik pertumbuhan ekonomi yang mengesankan publik. Padahal, semua bohong, berita-berita framing diekspose, diberitakan hiperbolik dan eufimis untuk menutupi dominasi dan kendali borjuis terhadap sumber daya ekonomi dan kekuasaan.
Biasanya praktek hegemoni budaya yang digunakan oleh borjuis dalam antropologi Marxis adalah menggunakan media massa. Ini untuk tetap bisa tetap mengontrol narasi dominan, dan menciptakan efek manipulasi agar kesadaran kritis proletar tidak muncul dan berkembang menjadi aksi serta protes terhadap kondisi penindasan, ekpsloitatif dan alienasi yang diterima.
Melalui permainan bahasa, narasi dan retorika bombastis ketimpangan ekonomi, pengangguran, eksploitasi buruh berhasil ditutup, Kenyataanya sebenarnya justru ketidakadilan ekonomi terjadi di depan mata. Data pada Januari hingga Februari 2025 misalnya menunjukan bahwa sekitar 10.655 orang pekerja di PHK Sritex akibat pailit.
Etalase sosial ekonomi tentang ketidakadilan juga nampak pada tingginya angka pengangguran, absolut pada periode September 2025 yang mencapai 7, 28 juta orang. Sementara elite borjuis menjalankan praktek monopoli tanah, akses modal tanpa batas, akses hukum dan kekuasaan yang melimpah.
Kaum proletariat di bawah justru menderita perlakuan tidak adil karena keterbatasan akses ekonomi dan kekuasaan. Kondisi timpang ini menjadi sebab terjadinya peminggiran paksa eksistensi kelompok rentan yakni petani, buruh, dan pekerja rendahan oleh borjuis.
Harus diakui jujur bahwa kebijakan ekonomi dan politik negara di Indonesia memang cenderung hanya memanjakan elite borjuis dan diskriminatif terhadap proletariat. Struktur sosial yang tercipta pun menjadi tidak adil, lapisan hierarki kelas meminjam istilah Max Webber (1922) makin ketat dan relasi kuasa makin menonjol.
Hal ini menurut Geert Hofstede (1980) menciptakan jarak kekuasaan (power distance) antara kekuasaan dengan rakyat, kaum borjuis menjadikan proletariat hanya sebagai alat kepentingan dan bahan bakar produksi yang semakin menebalkan jarak antara miskin dan kaya. Tekanan sosial akibat pemberlakuan kebijakan ekonomi negara yang tidak adil dan diskriminatif membuat banyak kaum proletariat semakin terdesak di wilayah-wilayah rentan dan kantong kemiskinan di pinggir-pinggir kota.
Ada yang terpaksa mengemis, jadi penjual tisu asongan, tukang semir sepatu, pengamen, pedagang kaki lima bahkan banyak terlantar menjadi pemulung. Mereka mengais rejeki dari sisa sampah barang-barang bekas dan rongsokan yang telah dipakai borjuis.
Anehnya publik sering mengutuk kemiskinan dan kepapaan sesama proletariat namun, memuja hedonisme dan gaya hidup konsumtif kaum elite yang kapitalistik. Dalam konteks ini, ketidakadilan tidak semata berakar pada distribusi ekonomi yang timpang namun, bagaimana cara pandang dan kontruksi kebudayaan membentuk cara pikir pengelola kebijakan negara untuk menghadirkan keadilan publik.
Sejak abad ke 20 sudah banyak pemikir Marxis melihat bahwa bukan hanya ekonomi yang penting, tetapi juga kebudayaan. Dari sini bermula lahir apa yang popular disebut Marxisme kebudayaan atau Cultural Marxism.
Saya melihat bahwa di era kapitalisme modern, kebudayaan tidak lagi semata dipahami sebagai pandangan dan pedoman hidup tetapi sudah berubah menjadi arena simbolik pertarungan ideologi dan kekuasaan. Sehingga nilai, norma, seni, bahasa media massa yang menjadi elemen kunci kebudayaan meminjam istilah Arnold Toynbee (1889) dipandang tidak lagi netral, melainkan menjadi alat reproduksi ideologi kelas dominan.
Hegemoni kebudayaan kerap terjadi, Secara politik bisa dilihat bagaimana elite dan borjuis membangun narasi dan wacana absurd tentang perpanjangan masa jabatan presiden Jokowi tiga periode. Sebuah ide dan gagasan yang menegaskan kontrol dan hegemoni kelas untuk mempertahankan dominasi terhadap akses kekuasaan dan sumber daya ekonomi oleh borjuis.
Wacana ini tentu bertentangan dan melanggar konstitusi tetapi saya yakin bahwa borjuis berada dibelakang ide konyol ini. Upaya-upaya mendominasi ruang kekuasaan yang dilakukan oleh elite dan borjuis bukan lagi dengan cara kekerasan represif tetapi berupaya membangun kompromi lewat persetujuan budaya.
Kebudayaan dijadikan sebagai semacam alat ideologis yang seolah-olah menormalisasi pelanggaran dan ketimpangan konstitusi. Dalam wacana kekuasaan dan budaya politik yang baru, dominasi, represi, diskriminasi dan ketidakadilan tidak hanya lahir (hadir) dari relasi ekonomi yang timpang antara miskin dan kaya, penguasa dan yang dikuasai.
Tetapi juga dari cara kebudayaan bekerja dalam masyarakat. Inilah menurut saya, yang menjelaskan mengapa ketidakadilan ekonomi, budaya, dan hukum di Indonesia sering tampak wajar bahkan diterima tanpa perlawanan karena kesadaran publik telah dikontrol dengan beragam narasi, iklan tv, tontonan hiburan bahkan yang ekstrim lewat kurikulum pendidikan dan bansos yang sesungguhnya adalah ide-ide penjinakan kesadaran dari kelas berkuasa agar menerima status quo.
Menurut saya kekayaan budaya di Indonesia sebagai nilai dan sistem sosial telah mengalami distorsi karena industrialisasi budaya. Nilai luhur kebudayaan tidak hadir sebagai kekuatan dan prinsip moral yang membentuk aksi dan gerakan sosial yang menolak tingginya kesenjangan ekonomi antara borjuis kaya dan proletariat miskin.
Kebudayaan tidak hadir menjadi alat perlawanan, ketika sumber daya alam hanya dinikmati segelintir borjuis, dan kebudayaan mandul menjadi kekuataan sosial, ketika proletariat diekstraksi tenaganya, dieksploitasi sumber dayanya dan dialienasi oleh borjuis hak-haknya. Akibat matinya fungsi-fungsi organik dan etik kebudayaan dalam mengatur kehidupan publik negara.
Hal inilah yang menurut saya, berdampak pada masih kentalnya praktek suap, nepotisme, Padahal, kehadiran reformasi tahun 1998 adalah untuk mengeliminasi, memberantas dan memberangus KKN. Faktanya korupsi makin merajalela, terang-terangan, dan dianggap perilaku biasa (banal) di negara yang konon memiliki kekayaan budaya sebagai sistem nilai hidup dan sumber kearifan.
Dalam konsep Marxisme kebudayaan, slah satu unsur kebudayaan yang digunakan sebagai alat kekuasaan dan menyusupkan kepentingan borjuis adalah lewat bahasa. bahasa memainkan peran sentral untuk menutupi realitas, mengatur lalu lintas wacana, dan informasi untuk membentuk opini positif publik terhadap eksploitasi, kemiskinan dan sistem tidak adil yang diproduksi oleh kekuasaan dan borjuis.
Lewat idioms, diksi dan frasa-frasa menraik bahasa, cerita pahit kesenjangan sosial-ekonomi, kerapkali diubah dengan cerita sukses individu kaum borjuis, kemiskinan proletar dipersonalisasi sebagai akibat kemalasan dan kurangnya kerja keras. Padahal, sejatinya ada tembok raksasa penghalang yang membuat proletariat tertindas yakni struktur ekonomi dan politik yang menindas, ekstraktif, dan ekspolitatif yang senagaja diciptakan oleh borjuis tetapi sengaja disamarkan dengan kemasan apik dan eufimis bahasa dan media.
Ketidakadilan pun tertutup rapi dan hanya samar-samar melaui praktek hegemoni kebudayaan. Menurut saya, ada fenomena kontras yang sering terjadi di Indonesia selain disfungsi kebudayaan adalah hilangnya kearifan budaya dan religuisitas publik.
Menurut Clifford Geertz (1960) dalam Religion Of Java, muslim di Indonesia dikenal fanatik dengan tiga ciri utama yakni pertama, kaum santri yakni ciri keislaman ortodoks menekankan praktek syaria’at islam yang ketat. Kedua, Abangan yakni corak keislaman moderat lebih sinkretis bercampur dengan tradisi lokal animis-hindu budha dan tetap islam dengan praktek ibadah lebih longgar.
Ketiga, Priyayi, islam yang menekankan etika, sopan santun, hierarki serta harmoni bukan ritual islam formal. Namun, corak unik mayoritas keislaman ini bagi saya paradoks dengan kasus tiga orang menteri agamanya justru tersandung kasus korupsi.
Mirisnya, kouta haji pun ikut-ikutan menjadi bancakan korupsi di kementrian yang katanya mengurusi-urusan agama orang. Korupsi kuota haji di institusi keagamaan tentu saja mencoreng wajah mulia agama dan memproduksi ketidakadilan bagi ribuan orang yang mengantri berangkat ke tanah suci.
Belum lagi ketidakadilan yang muncul karena kebijakan kenaikan pajak, PHK massal, dan kenaikan gaji anggota DPR di tengah pusaran korupsi yang membelit parlemen. Melalui lensa Marxisme kebudayaan kita melihat bahwa ketidakadilan di Indonesia direproduksi bukan hanya lewat kebijakan omnibuslaw, upah murah, outsoursing, ekspolitas tenaga kerja dan monopoli tanah, tetapi juga melalui hegemoni budaya dan kekuasaan.
Pada konteks inilah, secara budaya dan politik kita berbeda sangat jauh dengan China, Jepang, Singapura dan Finlandia di Eropa yang indeks korupsinya 0,01 persen. Negara-negara yang saya sebutkan ini, berhasil menjadi masyarakat berbudaya dan beradab karena etika dan nilai kebudayaannya menjadi suatu standar tata nilai sosial dan pandangan hidup yang membentuk kesadaran logik dan asketis mayoriitas publik.
Sehingga jarang terjadi penyimpangan sosial seperti kolusi, nepotisme, bersikap tidak adil, tidak disiplin seperti di Indonesia.
Dalam praktek budaya dominan di negara maju seperti Jepang, praktek suap adalah perilaku tidak terpuji, melanggar etika dan aib sosial. Pertanyaan yang kemudian muncul, mengapa nilai budaya sebagai entitas dan pandangan moral hidup yang universal bisa berbeda fungsi dan maknanya dengan di bangsa kita.
Saya kira, ini terjadi karena cara pandang keagamaan dan kebudayaan bangsa Indonesia yang telah bergesar jauh dari esensi norma sakral ke profan- meminjam istilah antroplog Mircea Eliade (1957) yakni agama yang dipahami hanya simbol-simbol formalistik tetapi kehilangan esensi etik untuk mengatur dan menuntun perilaku manusia untuk tunduk serta takut pada Tuhan. Mayoritas bangsa Indonesia cenderung memahami agama dan kebudayaan hanya sebagai teks dan simbol (cultural text)- meminjam istilah Clifford Geertz (1973) bukan menangkap kekuatan makna, fungsi dan esensi (cultural force).
Ketika kebudayaan dimaknai hanya sebagai simbol dan teks-teks dan kehilangan makna etiknya sebagai sumber nilai akan sangat beresiko pada munculnya perilaku patologis. Padahal, kebudayaan sebagai pedoman perilaku sejatinya harus menjadi tuntunan dan referensi moral publik.
Tidak heran lepasnya konteks kebudayaan dari makna etiknya menjadi sebab merebaknya perilaku banalitas meminjam istilah Hannah Arrendt, terutama di sektor birokrasi yakni meluasnya korupsi, kolusi, nepotisme dan tindakan kriminal yang sudah dianggap hal biasa. Raibnya fungsi penting kebudayaan dalam kekuasaan negara telah menjadi pemicu aneka ketidakadilan hukum, ekonomi dan politik dalam negara.
Hukum hanya tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas karena penegakan hukum yang tidak lagi berlandaskan pada etika kebudayaan. Padahal saking pentingnya etika dalam hukum, filsuf terkemuka Thomas Aquinas dalam Summa Theologia mengatakan bahwa hukum tanpa etika adalah sesuatu yang tidak mungkin.
Antropologi marxisme hadir bukan sekadar sebagai cabang teori, melainkan sebagai pisau analisis yang berusaha membaca bagaimana relasi kuasa dan struktur ekonomi menentukan wajah kebudayaan. Dalam konteks Indonesia, antropologi marxisme mengajak kita melihat bahwa kebudayaan sering kali diproduksi dan direproduksi untuk melanggengkan relasi kuasa.
Misalnya, praktik patronase politik di desa bukan hanya tradisi, melainkan mekanisme kontrol kelas yang membuat petani tetap bergantung pada elite pemilik tanah atau aktor politik lokal. Di sinilah antropologi marxisme berbeda dari pendekatan kultural murni, ia tidak berhenti pada makna simbolik, tetapi bertanya siapa yang diuntungkan, siapa yang dirugikan, dan bagaimana ideologi bekerja menutupi ketidakadilan itu.
Ketika masyarakat menerima ketimpangan sebagai takdir atau tradisi, sebenarnya mereka tengah berada dalam hegemoni kelas penguasa. Indonesia hari ini menghadapi ironi klasik marxis, kekayaan alam melimpah, tetapi rakyat banyak tetap miskin.
Dengan perspektif antropologi marxis, kita dapat memahami bahwa ini bukan sekadar kesalahan teknis tata kelola, melainkan akibat dari relasi produksi kapitalistik yang menempatkan masyarakat lokal sebagai objek eksploitasi. Maka, solusi bukan sekadar pemberdayaan yang kosmetik, melainkan perubahan struktural yang memungkinkan kelas bawah memiliki kendali atas alat produksi.
Dengan demikian, antropologi marxisme adalah ajakan untuk melihat kebudayaan secara kritis, bukan hanya sebagai warisan, tetapi sebagai arena pertarungan kelas. Dalam setiap ritual, narasi, dan relasi sosial, ada jejak kuasa yang bekerja. Tugas kita adalah membongkarnya agar kebudayaan tidak menjadi selimut ideologi, melainkan sumber kesadaran emansipatoris.
Editor : Purnawarman