UU Perampasan Aset dan Iklim Investasi Asing

Akademisi & Peneliti Pusat Kajian dan Analisis Ekonomi Nusantara
UNDANG-Undang (UU) Perampasan Aset hadir dengan semangat besar untuk memperkuat pemberantasan korupsi, pencucian uang, hingga tindak pidana transnasional. Dalam lanskap hukum Indonesia, regulasi ini digadang sebagai terobosan penting: negara dapat menyita aset hasil kejahatan tanpa harus menunggu vonis pidana berkekuatan hukum tetap.
Bagi masyarakat, langkah ini dipandang progresif. Namun, dari sudut pandang investasi, khususnya investasi asing, muncul pertanyaan krusial: sejauh mana UU ini akan memengaruhi kepastian hukum? Investor asing menempatkan rule of law sebagai fondasi utama sebelum menanamkan modal. Mereka menghitung risiko bukan hanya dari sisi pasar dan politik, melainkan juga jaminan perlindungan aset.
Jika UU ini diterapkan dengan jelas dan transparan, dampaknya justru positif. Investor melihat Indonesia berkomitmen serius melawan praktik korupsi yang selama ini menjadi salah satu hambatan utama dunia usaha.
Iklim usaha yang bersih akan menurunkan biaya risiko, memperkuat kepastian kontrak, dan menumbuhkan rasa percaya. Dengan demikian, UU Perampasan Aset dapat menjadi katalis bagi peningkatan investasi asing.
Meski membawa harapan, bayangan keraguan tetap menghantui. Dalam dunia bisnis, persepsi risiko sering kali lebih menentukan dibandingkan kenyataan hukum itu sendiri. Investor asing akan bertanya: apa yang menjamin bahwa aset mereka tidak tiba-tiba masuk dalam kategori terindikasi hasil tindak pidana?
Di sinilah tantangan implementasi. Regulasi ini harus menjamin adanya mekanisme pembuktian yang kuat, perlindungan bagi investor bonafide, serta jalur hukum yang efektif untuk menggugat jika terjadi kesalahan penyitaan. Tanpa prosedur yang ketat dan transparan, investor bisa melihat UU ini sebagai instrumen yang berpotensi disalahgunakan, entah untuk kepentingan politik atau ekonomi.
Kekhawatiran tersebut bukan tanpa dasar. Sejarah di berbagai negara menunjukkan bahwa regulasi perampasan aset bisa dimanfaatkan untuk menekan lawan politik atau pihak yang dianggap berseberangan dengan pemerintah. Bagi investor global yang terbiasa dengan standar kepastian tinggi, kerentanan semacam ini akan menambah biaya risiko, bahkan bisa menunda rencana ekspansi modal.
UU Perampasan Aset sejatinya juga menjawab tuntutan komunitas internasional. Indonesia dituntut mematuhi rekomendasi Financial Action Task Force (FATF) untuk memperkuat mekanisme asset recovery. Kepatuhan terhadap standar internasional ini penting, bukan hanya untuk kepentingan reputasi, tetapi juga bagi stabilitas sistem keuangan nasional.
Jika Indonesia berhasil menunjukkan komitmen dalam menjalankan regulasi ini sesuai standar global, maka kredibilitas di mata lembaga pemeringkat dan investor akan meningkat. Hal ini bisa berimplikasi pada membaiknya peringkat investasi Indonesia. Dengan kata lain, UU ini bukan hanya instrumen hukum, tetapi juga sinyal politik-ekonomi ke pasar global bahwa Indonesia serius menciptakan tata kelola yang bersih dan dapat dipercaya.
Namun, sinyal hanya akan bermakna jika diikuti praktik. Investor asing menilai bukan dari janji, melainkan dari konsistensi implementasi. Setiap inkonsistensi akan segera terbaca oleh pasar dan mengikis rasa percaya. Sebaliknya, konsistensi akan memperkuat keyakinan bahwa berinvestasi di Indonesia berarti memasuki pasar yang lebih terjamin dari risiko korupsi.
*Penutup*
UU Perampasan Aset adalah tonggak penting dalam perjalanan hukum Indonesia. Dari perspektif investasi asing, regulasi ini dapat menjadi peluang maupun ancaman. Peluangnya terletak pada kemampuan negara menciptakan iklim usaha yang bersih, transparan, dan selaras dengan standar global. Ancaman muncul jika implementasi membuka ruang penyalahgunaan dan merusak kepastian hukum.
Pada akhirnya, yang diuji bukanlah teks undang-undang, melainkan konsistensi praktik. Pemerintah dan aparat penegak hukum ditantang untuk membuktikan bahwa UU ini benar-benar menjadi alat hukum yang adil, bukan instrumen tekanan.
Bagi investor global, yang terpenting bukan berapa banyak aset yang berhasil disita, melainkan seberapa jauh regulasi ini mampu menumbuhkan rasa percaya. Jika berhasil, Indonesia akan menuai manfaat ganda: penegakan hukum yang lebih kuat sekaligus iklim investasi yang lebih sehat. Namun jika gagal, yang muncul hanyalah keraguan baru di tengah kebutuhan kita akan modal asing untuk pertumbuhan ekonomi jangka panjang.
Editor : Purnawarman