Polemik Pergeseran APBD NTB 2025: RPJMD Belum Rampung, Tapi Anggaran Sudah Bergeser

Menurut NTPW, langkah pergeseran terasa prematur karena pembahasan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) masih berlangsung di tingkat Panitia Khusus DPRD. Sementara itu, dana Belanja Tidak Terduga (BTT) yang seharusnya digunakan untuk kondisi mendesak masih tersedia.
“Dana yang ada di BTT aja kabarnya masih ada dan belum habis dipergunakan. Sementara dari aspek perubahan prioritas pembangunan, pembahasan RPJMD saja belum selesai,” ungkap Baharuddin.
NTPW juga menyuarakan kekhawatiran publik terkait motif pergeseran yang bisa saja digunakan untuk kepentingan politis atau kelompok tertentu.
“Kecurigaan itu hal yang wajar. Jangan sampai ada indikasi lain yang terselubung dari pergeseran anggaran ini. Pemerintah wajib buka hal ini secara transparan,” tutup Baharuddin.
Sebaliknya, Eks Tim Hukum 99 Iqbal-Dinda, melalui D. A. Malik dan Iwan Slank, menilai bahwa Pergeseran Anggaran NTB 2025 telah sah dan sesuai instruksi nasional.
“Pergeseran anggaran–anggaran tersebut sesungguhnya sebagai bagian dari implementasi efisiensi anggaran, yang juga diterapkan secara nasional,” jelas Iwan Slank, Jumat (28/6/2025).
Dasar Hukum Resmi Pergeseran Anggaran NTB 2025
Kebijakan ini tertuang dalam:
Perubahan tersebut adalah bagian dari penyesuaian struktur anggaran nasional dan penyusunan ulang berdasarkan efisiensi belanja daerah.
“Perubahan ini bukan sembarangan. Dasarnya kuat, yaitu arahan dari pusat. Tidak ada pelanggaran prosedur,” tegas Malik.
Terkait isu adanya “uang siluman” yang disebut-sebut beredar di lingkungan legislatif, Iwan Slank menyatakan bahwa jika ada, maka hal itu bukan bagian dari kebijakan resmi Gubernur NTB.
“Jika memang ada penyalahgunaan, itu harus diusut oleh Aparat Penegak Hukum (APH). Tapi ini di luar kebijakan pergeseran anggaran yang sah secara hukum,” tegasnya.
Secara prosedural, tidak ditemukan pelanggaran dalam penerbitan Pergub 6/2025. Namun desakan terhadap keterbukaan informasi publik, analisis kebutuhan, dan prioritas pembangunan tetap relevan untuk mencegah penyalahgunaan kewenangan.
Jika anggaran pokir dan Fornas VIII dipangkas tanpa analisis dampak yang tepat, potensi penurunan pelayanan publik di sektor pendidikan, infrastruktur desa, dan program UMKM sangat mungkin terjadi.
Sebab, Pokir DPRD biasanya menjadi saluran langsung dari aspirasi konstituen—pemangkasan dana ini harus dikaji melalui indikator kinerja pelayanan publik dan indeks kepuasan masyarakat agar tidak kontra produktif dengan agenda pembangunan NTB 2025–2029.
Editor : Purnawarman