Fahri Hamzah Cetuskan Paradigma Baru Perumahan, Ini Respons Akademisi

Ia menekankan bahwa hunian vertikal yang inklusif dan terintegrasi dengan transportasi publik dapat menciptakan lingkungan yang tidak hanya layak huni, tetapi juga efisien dari sisi ekonomi dan mobilitas masyarakat.
“Hunian vertikal, jika dirancang secara inklusif dan terintegrasi dengan transportasi publik, bisa menjadi solusi jangka panjang atas persoalan backlog perumahan,” ujarnya.
Lebih lanjut, Edo menjelaskan bahwa pendekatan hunian vertikal membawa manfaat besar secara ekonomi. Konsentrasi penduduk dalam kawasan terintegrasi akan menghemat biaya penyediaan infrastruktur publik, serta mendorong pembentukan pusat-pusat aktivitas ekonomi baru di tengah kota.
“Hunian vertikal bukan sekadar soal bangunan bertingkat, tapi mencerminkan efisiensi alokasi sumber daya dan arah baru pembangunan kota yang cerdas dan berkelanjutan,” tegasnya.
Selain faktor efisiensi, Edo menyoroti pentingnya aspek keadilan sosial dalam desain hunian vertikal. Ia menilai, pendekatan vertikal bisa menjadi jawaban atas ketimpangan akses terhadap hunian, khususnya bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang semakin terpinggirkan akibat lonjakan harga rumah tapak.
Edo juga menekankan bahwa keberhasilan reformasi paradigma ini sangat bergantung pada peran aktif pemerintah. Ia mendorong adanya insentif fiskal bagi pengembang yang membangun hunian vertikal terjangkau, revisi kebijakan tata ruang, serta penguatan kerangka hukum pengelolaan gedung dan perlindungan hak penghuni.
“Reformasi paradigma ini tidak akan berhasil tanpa kehadiran negara sebagai arsitek kebijakan dan pelindung kepentingan publik. Ini momentum penting untuk mengoreksi arah pembangunan perumahan nasional,” pungkas Edo.
Kementerian PUPR menargetkan pembangunan hunian vertikal berbasis TOD (Transit Oriented Development) di 10 kota besar, termasuk Jakarta, Surabaya, Medan, dan Makassar, sebagai respons terhadap urbanisasi yang cepat.
Singapura dan Jepang dijadikan sebagai model kebijakan hunian vertikal sukses di kawasan Asia, dengan integrasi sistem transportasi dan subsidi hunian untuk warga berpenghasilan rendah.
Menurut data BPS 2024, lebih dari 40% generasi muda Indonesia (usia 25–35 tahun) kini kesulitan membeli rumah tapak di perkotaan karena tingginya harga lahan.
Pemerintah saat ini tengah menggodok RUU Perumahan Berkelanjutan, yang diharapkan menjadi landasan hukum utama untuk pengembangan kota vertikal di masa depan.
Editor : Purnawarman