Kejari Mataram Bongkar Dugaan Korupsi Penjualan Tanah Aset Desa di Lobar, Segera Tetapkan Tersangka

LOMBOK, iNewsLombok.id – Kejaksaan Negeri (Kejari) Mataram tengah memproses penetapan tersangka dalam kasus dugaan korupsi penjualan tanah aset pemerintah daerah (pecatu desa) yang berlokasi di Dusun Karang Bucu, Desa Bagik Polak, Kabupaten Lombok Barat (Lobar).
Penyelidikan kasus ini telah memasuki tahap akhir, menunggu hasil audit resmi dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
"Calon tersangka untuk sekarang hanya satu, namun tidak menutup kemungkinan ada penambahan. Indikasinya tersangka adalah aparat desa," jelas Kasi Pidsus Kejari Mataram, Mardiyono, Kamis (15/5/2025).
Berdasarkan hasil penyelidikan sementara, kasus ini bermula pada tahun 2018 saat proses Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) dilakukan.
Tanah seluas 36 are yang seharusnya merupakan aset desa Karang Sembung diduga secara ilegal disertifikatkan atas nama pribadi, yakni oknum Kepala Desa Bagik Polak.
"Itu tanah aset Pemda. Bertahun-tahun jadi pecatu Karang Sembung, tiba-tiba pada 2018 muncul PTSL, dan bersertifikat atas nama pribadi Kepala Desa Bagik Polak," jelas Mardiyono.
Meski berada di wilayah Desa Bagik Polak, status lahan tersebut sah sebagai milik Desa Karang Sembung.
Kejanggalan muncul saat tanah itu dijual tahun 2020 seharga Rp 360 juta (Rp 10 juta per are), namun hanya dibayar separuh, yakni Rp 180 juta, oleh pembeli.
"Ternyata ada masalah jadi tidak full dibayarkan, karena tanah tersebut kita sudah sita," imbuhnya.
Kejari Mataram telah memeriksa sejumlah saksi, termasuk aparat desa, dalam proses pengumpulan alat bukti.
Tahapan selanjutnya adalah penghitungan kerugian negara oleh BPKP yang akan menjadi dasar kuat untuk penetapan tersangka dan proses persidangan.
"Kita tinggal tunggu hasil audit saja. Kalau keluar hasilnya nanti segera kita sidangkan," ujar Mardiyono.
Tanah pecatu merupakan tanah milik desa yang digunakan untuk kesejahteraan masyarakat desa.
Konversi status tanah pecatu menjadi milik pribadi melanggar peraturan perundang-undangan, khususnya UU Desa dan Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang Pengelolaan Aset Desa.
Jika terbukti bersalah, tersangka dalam kasus ini dapat dijerat pasal tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan ancaman hukuman maksimal 20 tahun penjara dan denda hingga miliaran rupiah.
Editor : Purnawarman