Oleh: Edo Segara Gustanto
Akademisi dan Peneliti Pusat Kajian dan Analisis Ekonomi Nusantara
KISRUH Ayam Goreng Widuran di Solo yang belakangan diketahui menggunakan minyak babi dalam proses memasaknya menyita perhatian publik, khususnya umat Islam. Masalahnya bukan semata pada penggunaan bahan tidak halal tersebut, tetapi pada fakta bahwa pelaku usaha tetap mencantumkan logo halal di warung mereka.
Sebuah tindakan yang menyesatkan dan mencederai kepercayaan konsumen, khususnya umat Islam yang selama ini berupaya menjaga kehalalan konsumsi mereka.
Banyak pihak merasa tertipu. Bertahun-tahun rumah makan tersebut melayani pelanggan tanpa transparansi terhadap bahan yang digunakan, bahkan tetap mencantumkan label halal yang menenangkan secara psikologis.
Kasus ini menimbulkan pertanyaan mendasar: Apakah sekadar label halal sudah cukup untuk menjamin perlindungan bagi konsumen? Atau, justru kita perlu berpikir ulang tentang pentingnya kehadiran label nonhalal sebagai bentuk kejujuran dan perlindungan konsumen?
Dalam beberapa kesempatan, termasuk saat mempresentasikan makalah berjudul “The Legal Responsibility of Business Actors Toward Consumers Due to Halal Labeling of Products: Maqashid Sharia Perspectives” pada The 1st Postgraduate International Conference on Law, Technology & Society di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), saya menyampaikan pandangan yang mungkin belum populer: label nonhalal sejatinya lebih penting ketimbang label halal.
Alasan Label Nonhalal Lebih Penting
Sebagian besar konsumen Muslim di Indonesia selama ini membeli makanan dengan asumsi bahwa produk yang beredar di pasaran adalah halal secara default, kecuali dinyatakan sebaliknya. Ketika produk tidak menyantumkan label apa pun, mereka tetap merasa aman.
Padahal dalam sistem perlindungan konsumen, prinsip transparansi adalah dasar yang tidak bisa ditawar.
Produk-produk yang mengandung unsur babi, alkohol, atau bahan haram lainnya, kerap beredar tanpa keterangan yang jelas. Bahkan dalam sejumlah kasus, bahan tidak halal digunakan secara diam-diam.
Ini yang membuat label nonhalal menjadi urgen. Bukan untuk menghakimi, tetapi untuk memberi kejelasan dan menghormati hak konsumen dalam membuat pilihan berdasarkan keyakinannya.
Label nonhalal justru bisa menjadi bentuk perlindungan nyata bagi konsumen Muslim di tengah derasnya arus produk yang bercampur antara halal dan haram. Dengan adanya label ini, konsumen tidak perlu menebak-nebak atau bertaruh keyakinan atas informasi yang tidak lengkap.
Transparansi seperti ini akan mendorong kejujuran pelaku usaha, membangun kepercayaan jangka panjang, dan menghindarkan masyarakat dari praktik konsumsi yang tidak sesuai prinsip agama. Dalam jangka panjang, ini bukan hanya bermanfaat bagi konsumen, tapi juga menciptakan ekosistem bisnis yang lebih etis dan berkelanjutan.
Perlu Perspektif Maqashid Syariah
Dalam perspektif maqashid syariah—tujuan syariat Islam—perlindungan konsumen ini berkaitan langsung dengan penjagaan terhadap agama (hifzh al-din) dan jiwa (hifzh al-nafs). Memberikan informasi yang benar dan jujur mengenai isi suatu produk adalah bagian dari etika bisnis Islam yang menekankan transparansi (tabligh) dan amanah.
Ketika informasi tentang kehalalan suatu produk disembunyikan atau dimanipulasi, maka bukan hanya prinsip syariah yang dilanggar, tetapi juga hak konsumen untuk membuat keputusan berdasarkan keyakinan mereka.
Label halal penting, tetapi dalam konteks pasar yang majemuk dan keterbukaan informasi yang masih lemah, label nonhalal justru memberi perlindungan tambahan. Ia berfungsi sebagai tanda peringatan bagi yang ingin menghindar, sekaligus sebagai bentuk kejujuran dari pelaku usaha.
Kejujuran itu pula yang menjadi fondasi kepercayaan antara produsen dan konsumen. Tanpa kejelasan informasi, konsumen rentan terhadap manipulasi dan tertipu oleh klaim-klaim semu yang tidak dapat diverifikasi.
Prinsip maqashid syariah juga menekankan perlunya tanggung jawab sosial dalam aktivitas ekonomi. Dengan memberikan label nonhalal secara terbuka, pelaku usaha tidak hanya menunjukkan kepatuhan terhadap hukum positif dan syariat, tetapi juga menegaskan komitmennya terhadap nilai keadilan dan perlindungan masyarakat.
Ini sejalan dengan semangat Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin)—di mana perlindungan konsumen menjadi bagian dari misi moral ekonomi Islam.
Negara tentu memiliki peran penting. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal sudah mengatur bahwa setiap pelaku usaha yang mencantumkan label halal harus memiliki sertifikat halal resmi. Kasus Widuran bisa menjadi momentum bagi pemerintah untuk memperketat pengawasan terhadap penyalahgunaan label halal, sekaligus mendorong pelabelan nonhalal secara terbuka dan sistematis.
Di negara-negara seperti Singapura dan Jepang, label nonhalal atau “mengandung babi” dicantumkan secara jelas. Hal ini bukan hanya menghormati konsumen Muslim, tetapi juga membangun ekosistem perdagangan yang inklusif dan jujur.
Indonesia, sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, seharusnya bisa menjadi pelopor dalam hal ini.
Kisruh Ayam Goreng Widuran bukan sekadar soal minyak babi, tetapi soal integritas, etika bisnis, dan perlindungan konsumen. Saatnya pelabelan produk tidak berhenti pada kehalalan, tetapi juga memberikan kejelasan tentang ketidakhalalan bila memang demikian adanya. Sebab dalam jujur, selalu ada keadilan bagi semua.
Editor : Purnawarman
Artikel Terkait