Dr. Agus, M.Si
Peneliti PusDeK UIN Mataram
Kesetaraan politik antara laki-laki dan perempuan telah menjadi perhatian masyarakat internasional dan menjadi bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM).
Dalam perbincangan akademik kebijakan afirmatif sudah lama diperdebatkan. Kebijakan yang demikian di satu pihak “menyalahi prinsip non-diskriminasi” dan pada pihak yang lain merupakan “konpensasi untuk menghilangkan hambatan struktural dan kultural”.
Argumentasi kedua lebih diterima dalam konteks Indonesia mengingat perempuan Indonesia dipandang mengalami hambatan kulutral dalam kontestasi politik.
Tulisan ini berusaha menelusuri jejak affirmative action perempuan dalam pemilu era Reformasi. Kegigihan sejumlah kelompok memperjuangkan kebijakan affirmative action perempuan dalam regulasi pemilu sudah terasa sejak pemilu tahun 1999.
Hanya saja sayangnya waktu itu belum berhasil. Para pejuang tidak menyerah. Mereka mendorong ketentuan kuota perempuan masuk dalam UU 31/2002 tentang partai politik, namun di tengah dinamika dalam DPR yang begitu cair, hanya berhasil memasukkan ketentuan mengenai “memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender” tidak disertai dengan ketentuan presentasi 30%.
Pejuang gender belum menyerah. Akhirnya ketentuan mengenai kuota baru muncul pada UU 12/2003 tentang pemilu Legislatif. Akan tetapi ketentuan tersebut tidak disertai sanksi yang jelas bagi partai yang melanggarnya, mengesankan ketentuan dalam undang-undang tersebut tidak memiliki kekuatan yang bersifat memaksa.
Perkataan lainnya, ketentuan tersebut hanya bersifat anjuran yang pelaksanaannya didasarkan pada basis sukarela. KPU yang waktu itu pertama kalinya bersifat nasional, tetap, dan mandiri memiliki keberanian lebih.
KPU mengeluarkan keputusan KPU No.638/2003 tentang tata cara pencalonan anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Pengaturan ini merupakan embrio awal dari regulasi pemilu yang mengatur sanksi pemenuhan kuota perempuan oleh partai politik.
Namun karena sejak awal kebijakan tersebut menuai kontroversi, dan KPU menyadari bahwa regulasi yang memayungi kebijakannya masih lemah, akhirnya dalam keputusannya KPU hanya menyebutkan bahwa “partai politik yang tidak memenuhi kuota perempuan akan diumumkan pada media massa”.
Artinya, KPU hanya bisa memberi sanksi moral saja bagi partai yang melanggar. Tujuannya agar publik mengetahui partai mana yang komitmennya terhadap kesetaraan gender sudah baik dan belum baik. Seluruh pengaturan di atas terasa lemah dan setengah hati.
Mulai pemilu 2009 pengaturan kuota perempuan lebih baik. Pertama, dalam ketentuan undang-undang partai politik, mengubah pengaturan dari yang sebelumnya hanya “memperhatikan” menjadi syarat wajib dalam kepenguruan bagi pendirian partai politik dari kepenguruan pusat hingga kabupaten dan kota.
Kedua, dalam undang-undang pemilu legislatif, ditingkatkan dengan menggunakan frasa “sekurang-kurangnya” yang berarti mewajibkan kepada partai untuk mencantumkan daftar bakal calon beserta nomor urutnya menyertakan sekurang-kurangnya 30% perempuan.
Bahkan pengaturannya menggunakan sistem zipper, yaitu dalam setia tiga bakal calon wajib ada sekurang-kurangnya satu perempuan. Pengaturan affirmative action perempuan dalam undang-undang pemilu akhirnya berlaku hingga pemilu saat ini.
Dalam ketentuan pasal 245 UU 7/2017 dijelaskan dengan frasa daftar bakal calon memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30%.
Kemudian pasal 246 Ayat (2) ditaruh frasa yang menyatakan di dalam daftar bakal calon, setiap tiga orang bakal calon terdapat paling sedikit satu orang perempuan bakal calon.
Dengan demikian, partai politik wajib mencantumkan sekurang-kurangnya 30 % perempuan dalam daftar bakal calon yang diserahkan kepada KPU.
(*) Peneliti PusDeK UIN Mataram
Editor : Purnawarman
Artikel Terkait