Anggaran Mobil Listrik hingga BTT Dinilai Bisa Dialihkan untuk Gaji 518 Honorer NTB Terancam Dipecat
LOMBOK, iNewsLombok.id - Persoalan 518 tenaga honorer yang terancam tidak diperpanjang kontraknya pada akhir tahun terus menjadi sorotan publik. Fraksi Persatuan Perjuangan Restorasi (PPR) DPRD NTB—yang merupakan gabungan PDIP, NasDem, dan Perindo—secara tegas meminta Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) melakukan evaluasi terhadap Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) APBD 2026.
“Kami minta Kemendagri agar kembali memasukkan hak keuangan gaji untuk 518 tenaga honorer ini,” tegas Ketua Fraksi PPR DPRD NTB, Made Slamet, Kamis (4/12/2025).
Dalam Raperda APBD 2026 yang disetujui pada rapat paripurna 28 November 2025 lalu, tidak tercantum satu pun alokasi gaji untuk tenaga non-ASN tersebut. Karena itu, Fraksi PPR mendesak Kemendagri melakukan evaluasi sebelum APBD 2026 kembali diserahkan ke Pemerintah Provinsi NTB.
“Tujuan kami agar Kemendagri memasukkan honor bagi para honorer di 2026,” ujarnya.
Made menilai APBD NTB sebenarnya mampu mengakomodasi kebutuhan tersebut. Salah satu opsi yang diajukan adalah mengalihkan sebagian pos anggaran lain, seperti:
Belanja Tidak Terduga (BTT) yang mencapai Rp15 miliar
Anggaran pengadaan mobil listrik senilai Rp14 miliar
Anggaran TAG-P3K sebesar Rp2,98 miliar
“Saya kira pos-pos anggaran ini bisa disisir. Dialihkan sebagian untuk gaji honorer,” tegas Made.
Made menegaskan bahwa memperjuangkan nasib para honorer bukan sekadar isu politik. “Karena ini namanya kemanusiaan. Mereka sudah lama mengabdi. Bahkan lebih lama dari yang sudah lolos seleksi PPPK,” ungkapnya.
Ia meminta agar pemberhentian massal pada 31 Desember nanti tidak terjadi. PDIP NTB, kata dia, sejak awal sudah mendorong Gubernur NTB Lalu Muhamad Iqbal untuk mengalokasikan anggaran melalui Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD).
“Kalau tidak dianggarkan sekarang bagaimana caranya digaji. Apakah nanti dibintangi. Yang penting ada dulu buat jaga-jaga tahun depan,” cetus Made.
PDIP NTB juga telah menyampaikan persoalan ini ke DPP PDIP untuk diperjuangkan melalui fraksi di DPR RI. “Nanti DPP akan menginstruksikan lewat fraksi di DPR RI untuk ini diperjuangkan,” katanya.
Made menyebut salah satu pimpinan Komisi II DPR RI, Aria Bima, adalah kader PDIP sehingga ia optimistis masalah ini dapat dibahas lebih jauh. Ia berharap KemenPAN-RB dan BKN ikut dipanggil untuk mencari solusi, mengingat persoalan serupa juga terjadi di banyak daerah lain.
“Negara harus melindungi rakyatnya sendiri. Karena kalau mereka diberhentikan ini bisa berdampak sosial secara luas,” ujarnya.
Made juga sepakat jika Pemprov NTB melalui BKD melakukan seleksi ketat. Dari hasil verifikasi BKD, ditemukan:
80 honorer tidak pernah masuk bekerja
3 orang memasuki masa pensiun
3 orang tidak memiliki ijazah
“Kami setuju untuk seleksi ulang supaya tidak fiktif. Kami yakin di antara 518 orang ini ada yang tidak layak untuk dipertahankan,” sambungnya.
Secara kelembagaan, DPRD NTB juga mendukung agar para honorer tetap bekerja tahun depan. Rekomendasi terkait nasib honorer menjadi bagian penting dalam pengesahan Perda APBD 2026.
“Bagian dari rekomendasi DPRD NTB agar honorer ini bisa dipekerjakan lagi. Sambil pemprov terus melakukan koordinasi dengan pemerintah pusat,” jelas Ketua DPRD NTB Baiq Isvie Rupaeda.
Isvie menyarankan penempatan honorer ke sejumlah lembaga seperti BUMD, rumah sakit daerah, hingga unit Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) jika penempatan di OPD tidak memungkinkan.
“Pokoknya apa pun itu ada kebijakan daerah yang baik. Agar jangan sampai pemerintah memutuskan hubungan kerjanya,” pungkasnya.
Pemerintah pusat sebelumnya telah mengeluarkan kebijakan penghapusan tenaga honorer mulai 2023, namun implementasinya terus ditunda karena pertimbangan sosial dan kesiapan anggaran daerah.
Data KemenPAN-RB menyebutkan terdapat lebih dari 2,3 juta honorer di seluruh Indonesia yang belum mendapatkan kejelasan status.
NTB merupakan salah satu provinsi dengan jumlah honorer yang tinggi namun kapasitas fiskal daerah berada pada kategori sedang, sehingga penyesuaian anggaran membutuhkan strategi khusus.
Sejumlah daerah lain seperti Jawa Barat, Banten, dan Kalimantan Selatan juga sedang menghadapi persoalan serupa dengan puluhan hingga ratusan honorer terancam tidak diperpanjang kontraknya.
Evaluasi APBD oleh Kemendagri biasanya mempertimbangkan aspek kewajiban daerah, ketersediaan fiskal, dan prioritas pelayanan publik, termasuk keberlanjutan tenaga pendukung operasional pemerintahan.
Editor : Purnawarman