Uniknya Tradisi Compo Sampari, Saat Anak Dompu Disematkan Keris Sebelum Dikhitan
DOMPU, iNewsLombok.id - Di Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat (NTB), terdapat tradisi unik yang terus dilestarikan hingga kini, yaitu Compo Sampari — prosesi penyematan keris kepada anak laki-laki yang akan menjalani khitan atau sunat. Keris dalam tradisi ini melambangkan keberanian, kekuatan, dan kemandirian seorang laki-laki Dompu yang akan memasuki fase kedewasaan.
Anak laki-laki berusia sekitar 9–10 tahun yang hendak disunat dianggap akan segera beranjak menjadi manusia dewasa. Karena itu, nilai-nilai kesatria, tanggung jawab, serta karakter Islami ditanamkan sejak dini melalui simbolisme penyematan keris.

Penyematan keris biasanya dilakukan oleh tokoh masyarakat atau tokoh agama yang dihormati. Prosesi ini disertai pembacaan sholawat dan doa keselamatan agar anak yang akan dikhitan mendapat berkah, keberanian, dan menjadi pribadi yang kuat.
“Saya selalu suka menghadiri acara-acara seperti ini. Bagian dari menjaga dan merawat tradisi lokal ke-Islaman di tanah Dompu,” ujar Akhdiansyah, tokoh masyarakat sekaligus anggota DPRD NTB asal Dompu, yang dipercaya keluarga untuk menyematkan keris pada salah satu anak yang akan dikhitan.
Tradisi Compo Sampari bukan sekadar seremoni, melainkan simbol harmonisasi antara Islam dan budaya lokal di tanah Dompu. Kedua unsur tersebut berpadu dalam napas kehidupan masyarakat sehari-hari.
“Ini dilakukan sejak masa Kesultanan Dompu abad ke-18, sebagai bentuk akulturasi budaya lokal dengan Islam di Dana Dompu,” tambah Akhdiansyah.
Menurutnya, di tengah derasnya arus modernisasi dan revolusi teknologi, masyarakat tidak boleh melupakan akar budaya dan tradisinya sendiri.
“Tradisi dan budaya adalah identitas asli kita yang harus diwariskan kepada anak cucu, sebagai perangkat pikir, sikap, dan tindakan. Lebih-lebih menghadapi kemajuan zaman dan revolusi teknologi yang masif saat ini,” tegasnya.
Tradisi Compo Sampari diyakini sudah ada sejak masa pemerintahan Sultan Syamsuddin di Kesultanan Dompu pada abad ke-18. Prosesi ini biasanya dilaksanakan bersamaan dengan acara doa bersama (barzanji), pembacaan ayat suci Al-Qur’an, dan pementasan musik tradisional seperti gendang beleq atau rebana.
Selain nilai religius, tradisi ini juga berfungsi sebagai penguat ikatan sosial antarwarga karena menjadi momentum berkumpulnya keluarga besar, tetangga, dan tokoh masyarakat.
Kini, sejumlah komunitas budaya di Dompu berupaya mendokumentasikan tradisi ini agar dapat dikenalkan kepada generasi muda melalui festival budaya tahunan di tingkat kabupaten.
Editor : Purnawarman