Viral! Struk Restoran Cantumkan Biaya Royalti Musik, Konsumen Heboh

Tulus menjelaskan bahwa pembayaran royalti musik seharusnya dibebankan kepada pemilik atau pengelola restoran. Dalam industri kuliner, musik biasanya diputar untuk menciptakan suasana nyaman bagi pengunjung. Namun, jika biaya musik dibebankan ke konsumen, justru akan merugikan citra usaha itu sendiri.
"Jika komponen musik tetap diterapkan dan pihak resto memaksa konsumen, ini justru bisa kontraproduktif bagi resto tersebut, karena akan menurunkan kepeminatan konsumen untuk mengunjungi resto tersebut," ujarnya.
Sementara itu, Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) membantah kebenaran struk yang viral tersebut. Menurut PHRI, foto itu adalah hasil editan atau hoax yang sengaja disebar di media sosial.
PHRI menjelaskan, kewajiban membayar royalti musik memang diatur oleh undang-undang dan dikelola oleh Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Namun, mekanismenya adalah langsung antara pelaku usaha (pemilik restoran/hotel) dengan LMKN, bukan dibebankan per transaksi kepada pengunjung.
Dasar Hukum: Royalti musik diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
Pihak yang Wajib Bayar: Pemilik usaha yang memanfaatkan lagu atau musik secara komersial di tempat usahanya.
Tarif: Besaran royalti ditentukan melalui perjanjian antara LMKN dan pelaku usaha, biasanya per tahun, bukan per pelanggan.
Tujuan: Memberikan penghargaan finansial kepada pencipta lagu dan musisi.
Kasus viral ini memicu diskusi publik soal transparansi biaya layanan di restoran dan perlindungan hak konsumen.
Editor : Purnawarman