“Jika pemimpin tak mau mendengar suara masyarakat di hari ke-100, maka ia akan tunarungu di hari ke-1000,” tegasnya
Ruang Terbuka bagi Semua Suara
Mimbar Bebas ini bersifat inklusif. Siapa pun dapat hadir dan menyuarakan pendapat, baik dalam bentuk kritik, pujian, maupun pandangan netral. Hal ini mencerminkan keadilan demokratis, di mana setiap warga negara berhak didengar.
“Mimbar ini bukan hendak menjatuhkan. Tapi untuk mengingatkan agar Iqbal–Dinda tetap berpijak pada rakyat,” kata Fihir.
Fihir juga menggarisbawahi bahwa respons pemerintah terhadap masukan dari Mimbar Bebas akan menjadi indikator penting keterbukaan dan kesiapan pemimpin dalam mengoreksi kebijakan.
“Tidak ada perubahan tanpa keberanian bicara. Kami menyiapkan Mimbar Bebas sebagai ruangnya.”
Demokrasi Sehat, Bukan Ancaman
Direktur Mi6, Bambang Mei Finarwanto atau yang akrab disapa Didu, menegaskan bahwa Mimbar Bebas harus dilihat sebagai cermin demokrasi, bukan ancaman terhadap kekuasaan.
“Seratus hari pertama bukan masa bulan madu, tapi masa masyarakat membuka mata. Jika seorang pemimpin meminta waktu tanpa kritik di awal masa jabatannya, boleh jadi pemimpin itu ingin bekerja tanpa kontrol, bukan bekerja untuk rakyat.”
Ia menambahkan, adanya forum seperti Mimbar Bebas menunjukkan bahwa demokrasi di NTB masih hidup dan memberikan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi aktif.
Sorotan terhadap Janji Kampanye
Dalam kampanye Pilkada lalu, pasangan Iqbal-Dinda menjanjikan peningkatan kualitas pendidikan, penurunan angka pengangguran, serta reformasi birokrasi berbasis digital. Mimbar Bebas juga diharapkan dapat menjadi medium mengevaluasi sejauh mana progres kebijakan tersebut telah terealisasi.
Selain itu, beberapa isu yang diprediksi akan mencuat dalam Mimbar Bebas antara lain: keterbukaan anggaran daerah, transparansi rekrutmen ASN, hingga kebijakan revitalisasi ekonomi lokal pasca-pandemi.
Editor : Purnawarman
Artikel Terkait