UGR Jadi Satu-Satunya Kampus yang Menolak Konsesi Tambang IPR di NTB

LOMBOK, iNewsLombok.id – Rektor Universitas Gunung Rinjani (UGR), Dr. Basri Mulyani, menyatakan penolakannya terhadap rencana pemberian konsesi tambang melalui Izin Pertambangan Rakyat (IPR) di Nusa Tenggara Barat (NTB).
Ia menegaskan, kebijakan tersebut berpotensi menimbulkan konflik horizontal dan merusak lingkungan hidup.
"Batalkan buat koperasi jika paska tambang tugas pemerintah. Jadi jangan benturkan rakyat vs rakyat soal tambang (IPR) yang tidak akan pernah ramah dengan ekologis buat generasi masa depan. Tambang rakyat selama dia merusak lingkungan dan menyengsarakan rakyat, UGR akan tolak," tegas Basri, Jumat (5/9/2025).
Basri menilai industri ekstraktif seperti pertambangan tidak pernah memiliki rekam jejak positif dalam melindungi manusia maupun lingkungan.
“Belum ada rekam jejak tambang memproteksi lingkungan atau melindungi manusia. Sehingga kepercayaan terhadap industri ekstraktif ini merupakan upaya mundur dari spirit pemajuan ilmu pengetahuan, inovasi, dan penemuan,” ujarnya.
Menurutnya, kampus harus tetap fokus pada Tri Dharma Perguruan Tinggi: pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Jika perguruan tinggi ikut terlibat dalam konsesi tambang, maka arah pendidikan bisa bergeser ke ranah bisnis semata.
“Kampus adalah pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat yang cukup jauh dari tujuan pengelolaan tambang itu sendiri,” tambahnya.
Pertambangan adalah industri padat modal dengan risiko tinggi. Basri mengingatkan bahwa tahapan mulai dari studi kelayakan, eksplorasi, hingga pasca-tambang membutuhkan dana besar.
“Dari sisi finansial, perlu modal yang kuat untuk membiayai tahapan studi kelayakan, eksplorasi, konstruksi, eksploitasi, hingga penutupan tambang,” jelasnya.
Selain itu, Basri khawatir konsesi tambang bisa memicu konflik perebutan keuntungan, kerusakan ekologi, dan mengganggu tatanan sosial budaya masyarakat sekitar.
Basri mengajak universitas lain di Indonesia untuk mengambil sikap serupa dengan UGR.
“Perguruan tinggi lebih banyak mendapatkan dampak negatif daripada dampak positif,” ujarnya.
Ia menilai perguruan tinggi harus menjadi benteng keberlanjutan dan kritisisme, bukan sekadar mencari sumber pendanaan tambahan.
Rencana pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) kepada perguruan tinggi sempat dibahas pada Rakornas 2024 bersama sejumlah rektor. Pemerintah beralasan, kebijakan ini untuk mendukung kemandirian pendanaan kampus.
Namun, organisasi lingkungan seperti WALHI dan JATAM menilai kebijakan tersebut berbahaya. Mereka menegaskan, konsesi tambang kepada universitas justru mengancam independensi akademik dan memperkuat model ekonomi ekstraktif yang merusak lingkungan.
Sejumlah aktivis mahasiswa di NTB juga menyuarakan dukungan terhadap sikap kritis Rektor UGR. Menurut mereka, penolakan ini merupakan bentuk keberpihakan kampus terhadap rakyat dan kelestarian alam.
Editor : Purnawarman