HBK Sebut Alih Fungsi Lahan di Kota Mataram Tertinggi Mencapai 638,10 Hektar Per Tahun

MATARAM, iNewsLombok.id - Anggota DPR RI dapil Nusa Tenggara Barat 1 pulau lombok H Bambang Kristiono (HBK) menegaskan, Di Pulau Lombok, wilayah tertinggi alih fungsi lahan terjadi di Kota Mataram, yang bisa mencapai 638,10 Ha per tahun.
Bahkan HBK menyebut, laju alih fungsi lahan pertanian tersebut, pada saat ini telah menjadi perhatian utama Negara. Mengingat tiap tahun bisa mencapai lebih dari 150.000 hektare.
“Posisi NTB saat ini, masih menjadi salah satu daerah lumbung pangan nasional. Tapi, kalau laju alih fungsi lahan ini tidak terkelola dengan baik, tentu ini akan sangat mengkhawatirkan,” imbuh HBK.
HBK menyebut tiap tahun di NTB, puluhan ribu lahan pertanian produktif beralih fungsi menjadi lahan non pertanian.
Data Dinas Pertanian dan Perkebunan NTB merinci, alih fungsi lahan tersebut di tiap Kabupaten atau Kota terus meningkat dari tahun ke tahun.
"Di Pulau Lombok, wilayah tertinggi alih fungsi lahan terjadi di Kota Mataram, yang bisa mencapai 638,10 Ha per tahun. Jumlah tersebut secara angka memang dibilang kecil. Namun, dari sisi persentase luas lahan pertanian di Kota Mataram, jumlah tersebut menjadi tertinggi. Di Kab. Lombok Barat, alih fungsi lahan tercatat mencapai 1.624,80 Ha, Kab. Lombok Tengah 3.118,59 Ha, Kab. Lombok Utara 5.061,50 Ha dan Kab. Lombok Timur 6.891,20 Ha,"ungkap HBK.
Sementara di Pulau Sumbawa, di Kabupaten Sumbawa, alih fungsi lahan tiap tahun mencapai 3.794,30 Ha, Kabupaten Bima 2.958,50 Ha, Kabupaten Dompu 1.668,40 Ha, Kab. Sumbawa Barat dan Kota Bima masing-masing seluas 607,60 Ha dan 395,10 Ha.
“NTB butuh program Food Estate untuk ekstensifikasi dan intensifikasi sektor pertanian berkelanjutan. Program Food Estate ini dinilai banyak pihak akan mampu memenuhi kebutuhan pangan kita di masa depan,” tandas HBK.
HBKmenyebut, Food Estate tentu tidak melulu tentang membuka lahan baru untuk sektor pertanian sebagai langkah ekstensifikasi perluasan lahan. Namun, juga bagaimana menjadikan lahan pertanian yang sudah ada saat ini terjaga, dan produktivitasnya meningkat sebagai langkah intensifikasi.
Selain itu, kata HBK, program Food Estate tidak melulu tentang lahan pertanian yang harus ditanami padi. Namun, tanaman harus disesuaikan dengan karakteristik lahan yang tersedia.
Dengan begitu, lahan yang cocok ditanami singkong atau ubi, maka akan ditanami dengan singkong atau ubi, dan tidak dipaksakan harus ditanami padi. Sehingga pada saat yang sama, program diversifikasi pangan juga bisa terus digalakkan.
Karena itu, HBK pun mengapresiasi jika pemerintah daerah kini sudah mulai menyiapkan sejumlah pilot project program Food Estate di NTB. Antara lain seperti yang terjadi di Labangka, Kab. Sumbawa, dimana disana sudah disiapkan lahan sedikitnya 100 Ha untuk tanaman pangan.
“Sekarang saatnya kita untuk bergandengan tangan, agar pilot-pilot project Food Estate tersebut bisa diperluas di banyak daerah di NTB ini,” kata HBK.
Komitmen HBK tentang pentingnya menggalakkan program Food Estate ini, sejalan dengan pandangan Prof. Edi Santosa, Guru Besar Pertanian, alumnus University of Tokyo yang menegaskan, bahwa tingginya lahan pertanian di Indonesia yang berubah peruntukannya menjadi lahan non pertanian seperti infrastruktur jalan, pabrik, dan rumah tinggal, akan berpotensi menimbulkan krisis ketersediaan pangan di dalam negeri.
Namun, dengan kehadiran program Food Estate dari pemerintah, kekhawatiran akan krisis pangan tersebut diharapkan tak akan pernah terjadi.
“Dengan adanya Food Estate ini, hingga (tahun) 2045 nanti, lahan (pertanian) yang bertambah bisa mencapai satu juta Ha” ujarnya.
Ditegaskan, Food Estate adalah cara khas dan inovasi baru pencapaian kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan bagi seluruh masyarakat di Indonesia. Agar Food Estate bisa berjalan sesuai rencana, maka kata Prof Edi, dibutuhkan konsistensi, teknologi, infrastruktur, mentalitas, dan sumber daya manusia yang memadai.
“Anak-anak muda dari daerah (tempat Food Estate diterapkan), bisa menjadi pioneer-pioneer untuk masa depan. Kita bisa membuat sekolah khusus, mungkin hanya enam bulan saja, untuk diajari soal Food Estate ini," katanya.
Di sisi lain, HBK berharap, program Food Estate akan tetap berjalan sesuai program yang sudah dicanangkan, terlepas dari apapun hasil Pemilu tahun 2024 nanti.
"Sebaiknya waktu berkompetisi dibatasi enam atau delapan bulan saja, setelahnya, semua pemangku kepentingan harus mampu bahu membahu, bekerjasama untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, yang salah satunya melalui program Food Estate ini," tutup HBK.
Editor : Purnawarman